Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

"Perempuan dan Wanita Dalam Analisis Sastra"

 

Cermin dan wanita

Perempuan dan wanita Dalam analisis sastra

Dalam frase Indonesia kata "perempuan" dan "wanita" sama namun berbeda secara semantik. Penggunaan dua kata ini menjadi dialektika antara novel Belenggu (1940) karya Armijn Pane, seorang sastrawan Pujangga Baru dengan novel Layar Terkembang (1936) karya Sutan Takdir Alisjahbana.

Novel Layar Terkembang mengisahkan tokoh Tuti, Maria (kakak beradik) dan Yusuf seorang dokter yang pada akhirnya jatuh hati kepada Tuti. Pengarang memberi karakter dua tokoh yang berbeda, Maria seorang terbuka (inklusif) dan Tuti tertutup (eksklusif) dalam kehidupan, ia seorang guru yang aktiv dan pemikir dan memperjuangkan hidupnya untuk cita-cita yaitu mengabdi kepada masyarakat sehingga Tuti sulit mencari pasangan hidupnya. Suatu ketika, Maria sedang kasmaran dengan Yusuf di Dago dan mengungkapkan rasa cintanya yang membuat Tuti sakit hati melihat adiknya yang begitu mabuk cinta dengannya, sampai-sampai Maria berucap kepada Tuti: "cintamu cinta perdagangan yang mempertimbangkan sampai kepada semiligram". Kalimat ini mempengaruhi sikap dan pemikiran Tuti yang membuat menyesal ketika ada laki-laki yang bernama Hambali ingin melamarnya, namun Tuti menolaknya.

Tiba-tiba Maria jatuh sakit TBC yang membuat kondisinya semakin memburuk, sedangkan Tuti berlibur bersama Yusuf ke rumah Ratna dan Saleh di Sindanglaya. Dari sini. Tuti mulai terbuka dalam melihat kehidupan di desa. Kehidupan suami istri di sana bercocok tanam dan bisa membimbing masyarakat sekitarnya. Keadaan tersebut benar-benar merubah pemikiran Tuti sebelumnya. Ia menyadari bahwa kehidupan mulia, mengabdi  kepada masyarakat tidak hanya dapat dilakukan di kota atau dalam kegiatan organisasi-organisasi, sebagaimana yang selama ini ia lakukan. Tetapi juga di desa atau di masyarakat manapun, pengabdian itu dapat dilakukan.

Semakin hari hubungan Tuti dan Yusuf menjadi mesra dan di saat kritis Maria mengatakan sesuatu sebelum ia meninggal. Yaitu ingin melihat Tuti dan Yusuf hidup bersama. Akhirnya Yusuf dan Tuti bertunangan.

Novel Belunggu mengisahkan tokoh Sumartini dan seorang dokter yang bernama Sukartono. Keduanya menikah dengan alasan yang cukup memaksakan. Bagi Tono (panggilan Sukartono) menikahi Sumartini dengan alasan ia gadis cantik dan pintar. Sedangkan Sumartini menikahi Tono dengan alasan kekosongan dan menghapus masa lalunya. Namun hubungan keduanya tidak begitu romantis, hampir setiap hari bertengkar. Tono seorang dokter propesional  dan disiplin tanpa lelah sampai-sampai tidak ada ruang untuk keluarganya. Klimaksnya, ketika ada pasien yang sedang sakit keras menghubunginya untuk diobati di salah satu kamar hotel dan ternyata pasiennya Siti Hayati alias Rohaya yang merupakan sahabat kecilnya. Sembari memeriksa, Rohaya bercerita kepada Sukartono bahwa ia dipaksa nikah oleh orang tuanya dengan pria yang tidak dicintainya. Akhirnya Rohaya memutuskan untuk menjadi seorang janda dan pindah ke Jakarta. Dalam perasaan, sebenarnya Rohaya secara diam-diam telah mengagumi dan jatuh hati pada Sukartono. Itulah yang membuatnya mencari keberadaan Sukartono. Setelah bertemu, Rohaya kemudian memuai aksinya untuk rmerayu Sukartono. Semula Sukartono tidak terpengaruh dengan rayuan Rohaya. Tetapi karena terus diberi pujian, akhirnya ia mulai simpati kepada Rohaya. Sukartono merasa bahwa Rohaya bisa memberikan ketenangan hati yang selama ini tidak didapatkan dari Sumartini. 

Selang beberapa waktu. Sumartini mengetahui bahwa Sukartono ada hubungan lebih dengan Rohaya. Akhirnya Sumartini murka, kemudian pergi ke hotel tempat Rohaya menginap untuk melabraknya. Namun, setibanya di hotel, Sumartini tak jadi marah karena perasaannya luluh oleh kelembutan hati dan keramahan Rohaya. Setelah pulang dari hotel tempat Rohayah menginap, Sumartini berintrospeksi diri. Ia merasa terlalu kasar pada suaminya dan tidak bisa memberikan rasa kasih sayang seperti yang diinginkan suaminya. Hingga akhirnya ia memantapkan hati untuk berpisah dengan Sukartono. Mendengar keputusan itu, Sukartono langsung menolak. Namun, Sumartini tetap kukuh dengan keputusannya hingga akhirnya Sukartono tak kuasa untuk mencegahnya. Mereka pun bercerai. Sukartono gundah, ditambah lagi ketika mengetahui bahwa Rohaya telah pergi dan meninggalkan sebuah surat yang menyatakan perasaanya pada Sukartono. Hingga akhirnya, Sukartono memilih untuk mengabdikan diri pada sebuah panti asuhan. Di tempat tersebut ia merasa tenang karena bisa membantu orang lain.


Analisis

Novel Layar Terkembang menandakan bahwa tokoh Tuti dan Maria seorang Perempuan. Pada awalnya, pengarang menyuguhkan pertarungan kriteria antara inklusifisme dan eksklusifisme dan pada akhirnya, dimenangkan karakter yang dimainkan oleh Maria walaupun plot akhirnya diwafatkan dan digantikan oleh tokoh Tuti. Tuti menjadi aktivisme dan guru, seolah-olah sesuatu yang berguna diluar dari dirinya dan untuk orang lain sampai-sampai ia lupa akan dirinya dalam persoalan kasih sayang dan cinta. Tuti menemukan eksistensi sebagai perempuan, ketika sebuah kalimat terucap dari Maria "cintamu cinta perdagangan yang mempertimbangkan sampai kepada semiligram" dan diajak ke rumah Ratna dan Saleh. Menjadi perempuan seperti menemukan cinta dan taat kepada suami (keluarga), bukan sekadar aktiv di luar. Perempuan identik dengan keluarga dan cermin di rumah.


Berbeda dengan Novel Belenggu, tokoh Sumartini seorang wanita cantik dan tidak mau bergantung pada siapapun termasuk kepada suami dengan menunjukkan sikap menerima perpisahan dengan suaminya, Tono. Di luar tokoh Sumartini, ada tokoh Siti Hayati alias Rohaya, yang tidak menerima perjodohannya, kemudian kabur dan menemui teman lamanya, Tono. Eksistensinya menunjukan wanita harus melampaui gender feminim. Analisis gender sering melampaui seksualitas dan tidak menutup kemungkinan bahwa wanita setara dengan laki-laki, tidak ada dominasi antar keduanya dan mengikuti kata hatinya. Seolah-olah karya Armijn Pane menjadi antitesa dari karya Sutan takdir Alisjahbana. Menerobos kultur patriarki yang menjadi ciri dari kolonialisme.

Pilihanmu adalah apakah menjadi "perempuan" seperti Layar Terkembang atau "wanita" seperti Belenggu?


Nabil dalam seruputan Kopi dengan Pak Hadi Winarno

Bogor, 2023

Posting Komentar untuk ""Perempuan dan Wanita Dalam Analisis Sastra""