Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

"Runtuhkan Tembok Sunyi: Nawal el Saadawi dan Perlawanan Wanita dalam Budaya Patriarki"

 


"Seiring dengan sejarah umat manusia, norma dan nilai-nilai yang timbul dari aspek keagamaan telah terbentuk oleh faktor ekonomi. Penindasan perempuan di masyarakat, pada hakikatnya, adalah manifestasi dari struktur ekonomi yang ditegakkan melalui kepemilikan tanah, sistem pewarisan, serta institusi keluarga patriarkal sebagai entitas sosial. Namun, masih banyak analisis modern yang menyalahkan agama sebagai akar penyebab utamanya," – demikian kata-kata yang digaungkan oleh Nawal el Saadawi di awal bukunya "Perempuan dalam Budaya Patriarki" (hal. 9). Frasa tersebut memiliki esensi mendalam untuk membimbing pembacaan kita, mengingat argumen-argumen Nawal yang terpenuhi dengan elemen ekonomi-politik. Pada perjalanan membaca karya Nawal ini, kita akan menemukan dirinya, seorang perempuan dokter asal Mesir, sekaligus seorang feminis muslim yang tidak melihat agama sebagai akar penyebab marginasi perempuan atau sebagai pendorong penderitaan perempuan dalam agama. Dalam perjalanan ini, kita akan menjadikan kutipan Nawal sebagai pijakan untuk menjelajahi isu-isu perempuan dalam masyarakat Arab, sambil menelusuri apakah Nawal setia pada pijakan ini ataukah dia meloncat dengan sendirinya.

Lahir sebagai Nawal el Saadawi pada tahun 1931 di Kafr Tahla, sebuah desa di tepi Sungai Nil (Cooke, 2016: 215), Nawal merupakan seorang dokter dan pendukung hak asasi manusia yang telah menghasilkan lebih dari empat puluh buku fiksi dan nonfiksi sepanjang hidupnya (Mufidah, 2018: 19). Beberapa di antaranya adalah Memoirs of a Woman Doctor (1958), Women and Sex (1972), God Dies by the Nile (1974), The Hidden Face of Eve (1979), Women at Point Zero (1983), dan My Travels Around The World (1991) (Kulsum, 2017: 105-106). "Perempuan dalam Budaya Patriarki" adalah terjemahan bahasa Indonesia dari The Hidden Face of Eve.

Nawal menyelesaikan pendidikannya di sekolah kedokteran di Kairo, Mesir (Kulsum, 2017: 105). Pendidikan ini memainkan peran penting dalam membentuk pandangan Nawal tentang permasalahan perempuan. Seperti Fatima Mernissi, salah satu tokoh feminis Muslim yang dikenal, Nawal berasal dari keluarga yang konservatif dalam praktik Islam. Ayahnya adalah Pengawas Umum Pendidikan di Provinsi Minufia, daerah Delta di utara Kairo, sementara ibunya memiliki latar belakang pendidikan di sekolah Prancis (el Saadawi, 2011: 18).

Buku ini membuka dengan penggambaran Nawal tentang penindasan budaya patriarkal yang dulu melandasi kehidupan keluarganya. Pada masa kanak-kanaknya, Nawal melihat bagaimana tanggung jawab domestik jatuh pada anak perempuan, sementara laki-laki memiliki kebebasan yang lebih besar. Pemikiran, suara, dan bahkan posisi tubuh seorang perempuan pun harus tunduk pada norma-norma patriarkal yang ada. Berbicara dengan suara lirih dan membatasi gerakan tubuhnya, Nawal menceritakan bagaimana harga diri keluarga diletakkan pada keperawanan atau kesucian perempuan.


Karya "Perempuan dalam Budaya Patriarki" terbagi menjadi empat bagian: "Separuh Potongan", "Perempuan dalam Sejarah", "Perempuan Arab", dan "Terobosan". 


Melalui tulisan ini, Nawal mencoba menguraikan isu-isu yang disentuhnya dalam bukunya.

Nawal secara mendalam mengkaji praktik sunat klitoris, menghubungkannya dengan pengendalian hasrat seksual perempuan, dan penjagaan keluarga patriarkal. Di awal Bab 1, Nawal menceritakan pengalaman pribadinya tentang penyunatan klitoris yang dilakukannya sewaktu berusia 6 tahun. Pengalaman ini dirinci oleh Nawal untuk mengilustrasikan bagaimana perempuan diperlakukan sebagai objek dalam masyarakat patriarkal. Penyunatan klitoris dilakukan tanpa persetujuan anak perempuan dan dengan cara yang amat brutal. Nawal dengan tegas menyatakan bahwa ini adalah bentuk pelecehan seksual terhadap anak perempuan, yang dikenal juga sebagai bentuk mutilasi genital perempuan (hal. 23). Prosedur ini memotong seluruh bagian klitoris serta sebagian labia minora dan kadang-kadang mayor juga, dan kadang-kadang dijahit. Dampak fisik dan psikologis dari praktik ini bisa mengakibatkan rasa sakit kronis, infeksi, komplikasi saat menstruasi, bau tak sedap, dispareunia, gangguan psikologis, hingga kebutuhan untuk dioperasi lagi ketika seorang perempuan menikah dan melahirkan (Abdulcadir et al, 2019: 86-87).

Dalam kajiannya, Nawal melibatkan pengalaman-pengalaman dari orang-orang yang dia temui dalam perjalanannya. Dia mendokumentasikan kisah-kisah para perempuan yang mengalami penganiayaan fisik, pelecehan seksual, dan penyiksaan di berbagai belahan dunia. Dia juga mengangkat pengalaman-pengalaman pribadinya, termasuk bagaimana dia sendiri menjadi korban pelecehan seksual.





Nawal el Saadawi juga menggambarkan bagaimana perempuan dalam masyarakat Arab sering kali dipandang sebagai objek, baik oleh kaum lelaki maupun oleh perempuan itu sendiri

Nawal el Saadawi juga menggambarkan bagaimana perempuan dalam masyarakat Arab sering kali dipandang sebagai objek, baik oleh kaum lelaki maupun oleh perempuan itu sendiri. Dalam masyarakat yang diatur oleh budaya patriarki, perempuan sering kali dianggap sebagai pemuas hasrat seksual dan penghasil keturunan semata. Pandangan ini tercermin dalam praktik sunat perempuan, di mana tubuh perempuan dimodifikasi untuk mengendalikan dan meredam hasrat seksualnya. Nawal menghubungkan sunat perempuan dengan kontrol seksual dan pemeliharaan struktur keluarga patriarkal.

Pentingnya peran ibu dalam masyarakat dan budaya patriarkal diakui oleh Nawal, tetapi dia juga mengkritisi bagaimana norma-norma patriarki sering kali memaksa perempuan untuk mengorbankan diri dan aspirasi pribadi demi keluarga. Buku ini mencoba merangkum pandangan Nawal tentang berbagai isu kompleks yang terkait dengan perempuan dalam masyarakat yang diatur oleh norma-norma patriarkal. Dari praktik sunat perempuan hingga pernikahan anak-anak, dari penindasan seksual hingga keterbatasan dalam pendidikan dan pekerjaan, Nawal el Saadawi menggambarkan kenyataan pahit yang dihadapi oleh banyak perempuan di dunia.

Namun, Nawal tidak hanya menyoroti masalah dan penderitaan perempuan. Dia juga berbicara tentang harapan dan perubahan. Dia menunjukkan bagaimana beberapa perempuan mampu mengatasi hambatan-hambatan ini dan menciptakan perubahan dalam masyarakat mereka melalui pendidikan, aktivisme, dan pemberdayaan ekonomi.

Pesan utama yang dapat diambil dari buku ini adalah pentingnya pemahaman yang mendalam tentang budaya patriarki dan bagaimana budaya ini mempengaruhi kehidupan perempuan. Nawal el Saadawi mengilustrasikan betapa kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh perempuan dalam budaya patriarki, dan mengajak kita untuk mempertanyakan serta mengubah norma-norma yang menghambat kesetaraan gender dan martabat perempuan.


Penutup

Sebagai penutup, "Perempuan dalam Budaya Patriarki" adalah sebuah karya yang kuat dan berpengaruh, yang memberikan wawasan mendalam tentang kondisi perempuan dalam masyarakat yang diwarnai oleh budaya patriarki. Melalui pengalaman pribadinya, pengamatan sosialnya, dan analisis yang tajam, Nawal el Saadawi menggambarkan tantangan yang dihadapi oleh perempuan serta mengajak untuk perubahan menuju masyarakat yang lebih adil dan setara secara gender.

Posting Komentar untuk ""Runtuhkan Tembok Sunyi: Nawal el Saadawi dan Perlawanan Wanita dalam Budaya Patriarki""