Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

"Riwayat Kontroversial: Aksi Terakhir Orang PKI Sebelum Peristiwa 1 Oktober 1965"

 


Selama tahun 1965 hingga 30 September, Jakarta memang seringkali dalam suasana yang sangat ramai. Hampir setiap minggu ada demonstrasi yang berlangsung. Orang-orang berteriak sana-sini, mengajukan berbagai tuntutan, dan mendesak untuk membubarkan berbagai hal. Semua itu menciptakan suasana yang panas.

Kehangatan ini sebagian besar dipicu oleh Perang Vietnam di mana Indonesia jelas mendukung gerilyawan Paman Ho. Koran-koran progresif seperti Harian Rakjat, Warta Bhakti, Bintang Timur, dan Suluh Indonesia penuh dengan kritik terhadap upaya Amerika Serikat untuk mendirikan pangkalan militer di sana. Mereka mengecam tindakan tersebut dengan keras.

Tidak lupa juga, ada yang menyalahkan CIA atas segala masalah ini.

Selama masa Orde Baru dan bahkan sampai hari ini, demonstrasi seperti ini seringkali disebut sebagai persiapan untuk kudeta yang dikenal sebagai G30S/PKI. Namun, seringkali dukungan kuat dari partai politik dan organisasi-organisasi sosial terhadap peristiwa geopolitik di Asia Tenggara, seperti Perang Vietnam dan konflik di Malaysia, sering terlupakan. Yang tersisa hanyalah narasi bahwa semua itu adalah bagian dari persiapan untuk G30S/PKI.

Sekarang, mari kita lihat apa yang terjadi seminggu sebelum 1 Oktober, terutama "kegiatan-kegiatan kontroversial" yang dilakukan oleh anggota PKI dan kelompok progresif yang sejalan dengan Sukarno dalam "mempersiapkan kudeta".

Pertanyaannya adalah, apakah orang-orang ini benar-benar mengetahui tanggal dan waktu persis kudeta tersebut? Atau, apakah G30S hanya dilakukan oleh sekelompok kecil orang di dalam PKI?

Namun, yang pasti, di luar kontroversi ini, semua orang harus menanggung dampak sosial yang sangat besar, seperti dalam kisah pewayangan: "pembantaian massal."

Pada tanggal 26 September, yang merupakan hari Minggu dan juga hari budaya Lekra, koran-koran penuh dengan berita budaya. Salah satunya adalah headline tentang Cornel Simandjuntak, yang disebut sebagai komponis dan pejuang teladan.

Seperti yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer, ketika ditanya apa yang dilakukan Bung Cornel menjelang 30 September, dia hanya berkata bahwa Cornel tinggal di rumah dan mengumpulkan kliping sejarah Indonesia pada awal abad ke-20.

Lekra juga sibuk mempersiapkan acara haul untuk mengenang Cornel Simanjuntak. Salah satu pidato utamanya disampaikan oleh Njoto, yang menjelaskan bagaimana Cornel adalah teladan, seorang komponis, dan seorang pejuang. Dia menunjukkan bagaimana Cornel bahkan menukarkan musiknya dengan senjata ketika diperlukan, dan kematian Cornel disebabkan oleh penyakit dan luka tembak yang dia derita.

Selain Njoto, komponis Amir Pasaribu, yang juga adalah Wakil Ketua Politbiro PKI, ikut memberikan persetujuannya terhadap kata-kata Njoto. Amir, pencipta komposisi "Andhika Bhayangkari," yang masih dimainkan dalam upacara militer hingga saat ini, juga hadir dalam acara ini.

Tentu saja, ini tidak sebanding dengan menghadapi informasi yang mengganggu seperti yang mungkin kita bayangkan.

Selama "Malam Cornel" tersebut, Amir Pasaribu lebih fokus pada aspek teknis komposisi musik dan irama yang telah diciptakan oleh Cornel. Jadi, acara haul ini seperti seminar musik yang serius. Amir sangat mempersiapkan pidatonya.

Selain pidato-pidato utama dari Amir Pasaribu dan Njoto, yang berfokus pada kaitan antara musik (Cornel) dan politik (Revolusi), hal yang perlu dicatat adalah bahwa Lekra tidak sibuk mempersiapkan senjata, seperti yang mungkin digambarkan dalam film "Pengkhianatan G 30 S/PKI".


Kegiatan lain yang berlangsung di Tjidurian 19, Jakarta Pusat, dalam pekan terakhir September adalah seleksi nama-nama pengarang, musisi, dramawan, pemain film, untuk diutus ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai duta budaya untuk perayaan 1 Oktober di sana.

Delegasi budaya ini dipimpin oleh Azis Akbar, sekretaris Lekra Sumatra Utara dan juga seorang insan film. Nama-nama seperti Z. Afif (sastra), Kusni Sulang (musik), A. Kohar Ibrahim (sastra), dan banyak lagi terpilih untuk menjadi duta budaya ini berdasarkan aktivitas mereka dalam berkarya.

Setelah segala persiapan, termasuk dokumen-dokumen yang diperlukan, delegasi duta budaya ini diberangkatkan pada tanggal 27 September.

Lekra sangat berharap bahwa kunjungan ini akan memberikan wawasan budaya yang luar biasa dan akan membantu mereka ketika mereka kembali ke Indonesia pada tanggal 1 Oktober.

Dan tentu saja, kita tahu apa yang terjadi setelah tanggal itu, bagaimana banyak dari mereka "hilang" secara misterius.

Mengirimkan Delegasi Kebudayaan ke Tiongkok

Pada pekan terakhir September, kesibukan lain di Jakarta adalah seleksi para pengarang, musisi, dramawan, pemain film, dan lainnya untuk dikirim sebagai duta kebudayaan ke Republik Rakyat Tiongkok dalam rangka perayaan 1 Oktober.

Delegasi budaya ini dipimpin oleh Azis Akbar, sekretaris Lekra Sumatra Utara yang juga seorang insan film. Mereka membawa berbagai nama terkemuka, termasuk Z. Afif (sastra), Kusni Sulang (musik), A. Kohar Ibrahim (sastra), dan banyak lainnya.

Seleksi para duta budaya ini tidaklah mudah, karena mereka harus aktif dalam berkarya di bidang budaya. Setelah segala persiapan, para duta budaya diterbangkan ke Tiongkok pada tanggal 27 September.

Ini adalah upaya dari Lekra untuk memahami dan memperkaya budaya Tiongkok serta berharap dapat memberikan kontribusi yang lebih besar ketika mereka kembali ke tanah air pada tanggal 1 Oktober.

Kursus Politik untuk Para Buruh Perkebunan

Sungguh, kita mungkin penasaran, apa yang tengah menjadi fokus perhatian Njoto saat ini?

Seharusnya, dalam pekan-pekan terakhir ini, dia akan sibuk menghadiri rapat-rapat politik yang mungkin akan mengingatkan kita pada adegan epik yang pernah diabadikan dalam film Pengkhianatan G 30 S/PKI.

Namun, yang sebenarnya terjadi tidak demikian. Njoto justru memilih untuk mengisi waktunya dengan memberikan webinar tentang politik dan ideologi kepada para buruh perkebunan. Mungkin, inilah satu-satunya kesempatan terakhir bagi Njoto untuk berbicara tentang hal tersebut.

Dalam webinar-nya, Njoto menjelaskan berbagai topik, termasuk sejarah perkembangan marxisme di Indonesia serta kaitannya dengan dunia perkebunan. Singkatnya, Njoto ingin menyampaikan pesannya bahwa perkebunan-perkebunan ini perlu dijaga dengan pendekatan marxisme agar pengelolaannya tetap sesuai, dan agar kehidupan di dalamnya tetap sejalan dengan alam.

Kongres dan Apel Mahasiswa

Di tengah kongres CGMI yang berlangsung, berada di sini ada juga sebuah peristiwa bersejarah yang melibatkan para pelajar yang tergabung dalam organisasi IPPI.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sebagai organisasi yang menjadi rival utama Centra Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dalam politik kemahasiswaan, seringkali menjadi sorotan. Periode tiga tahun sebelum tahun 1965, yang berakhir pada "tanggal keramat" 30 September, merupakan periode sengit dalam persaingan antara HMI dan CGMI.

Di Surabaya, terdapat sebuah insiden yang mencolok ketika beberapa anggota HMI menyerbu acara ospek (mapram) dan dengan semangat tinggi berteriak, "Hidup HMI" dan "Go Ahead HMI." Tindakan ini sangat mengganggu CGMI dan memicu reaksi keras dari mereka, yang mengutuk tindakan HMI saat Kongres ke-III CGMI yang diadakan di Istana Olahraga Senayan pada tanggal 30 September.

Acara kongres ini sangat penting, dihadiri oleh tokoh-tokoh seperti Sukarno yang memberikan pidato sambutan, Wakil Perdana Menteri J. Leimena, serta Ketua CC PKI D.N. Aidit. Bahkan, delegasi mahasiswa dari Vietnam juga hadir dalam rapat umum tersebut.

Namun, dua hari sebelumnya, Jakarta dipenuhi oleh suasana yang berbeda, yakni apel pelajar yang diorganisir oleh Ikatan Pelajar dan Pemuda Indonesia (IPPI) sebagai peringatan dua dekade Ikrar Pelajar 45. Acara ini dilangsungkan di Lapangan Banteng, Gambir, Jakarta Pusat, dan dihadiri oleh sekitar 50 ribu pelajar.

Pembicara utama acara ini adalah Wakil Perdana Menteri Subandrio dan Ketua CC PKI D.N. Aidit. Dalam pidatonya, Aidit menekankan pentingnya peran pelajar Indonesia dalam perjuangan melawan musuh-musuh revolusi, termasuk "setan-setan desa" yang menjadi musuh kaum tani, serta "setan-setan kota" dan "nekolim" yang menjadi musuh kaum buruh dan seluruh rakyat Indonesia.

Selain pidato-pidato penting, acara ini juga menampilkan berbagai kompetisi seperti paduan suara pelajar tingkat SMP dan SMA dengan lagu wajib "Nasakom Bersatu" dan "Di Timur Matahari Bersinar." Selain itu, sekitar 200 orang juga berpartisipasi dalam lomba deklamasi, dengan karya sastra utama berjudul "Tak Seorang Berniat Pulang" karya penyair Lekra, HR Bandaharo.

Acara tersebut mencapai puncaknya dengan lomba gerak jalan yang disebut "Gerak Jalan Takari," yang diikuti oleh sekitar 200 tim dari SMP/SMA. Rute lomba melintasi beberapa lokasi terkenal di Jakarta, dimulai dari Lapangan Banteng, lalu melewati Pejambon, Merdeka Timur, Merdeka Selatan, Thamrin, Imam Bonjol, Diponegoro, dan berakhir di Salemba Raya.

Dua kegiatan besar ini melibatkan dua organisasi pelajar dan mahasiswa yang memiliki afiliasi dengan PKI. Jadi, jika ada pertanyaan tentang keberadaan mahasiswa komunis pada malam 1 Oktober, jawablah dengan kenyataan bahwa mereka sedang sibuk dengan kongres mereka. Dan jika ditanyakan apa yang dilakukan oleh pelajar komunis di pekan terakhir September, jelaskan bahwa mereka tengah mengadakan acara paduan suara, deklamasi, dan lomba gerak jalan. Mengenai persiapan "pembantaian" jenderal-jenderal Pancasilais, mungkin pertanyaan tersebut lebih tepat diajukan kepada pihak terkait.

Merayakan Ultah Bersama

Merancang Perayaan Ulang Tahun Bersama: BTI, Sobsi, dan Pemuda Rakjat

Tiga organisasi massa yang berada di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI), yaitu Pemuda Rakjat, BTI (Barisan Tani Indonesia), dan SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), telah memasuki pekan terakhir bulan September dengan jadwal perayaan ulang tahun mereka yang berdekatan. Dalam upaya untuk menghemat sumber daya dan merayakan ulang tahun mereka secara bersamaan, PKI telah mengeluarkan rencana yang menarik.

Pemuda Rakjat akan merayakan ulang tahunnya pada tanggal 10 November, BTI pada tanggal 25 November, dan SOBSI pada tanggal 29 November. Rencana penyatuan perayaan ulang tahun ini bertujuan untuk mengadakan sebuah acara yang meriah dan spektakuler, mirip dengan perayaan ulang tahun Partai PKI yang biasanya digelar pada bulan Mei.

Instruksi penyatuan perayaan ulang tahun ini memiliki tujuan yang jelas, yaitu "untuk lebih memperhebat ofensif revolusioner di segala bidang guna membela nasib massa rakyat yang luas. Terutama kaum buruh dan kaum tani, yang semakin terjerat dalam dampak negatif dari tiga kelompok 'setan' kota, yaitu kapitalis birokrat, pencoleng dan koruptor, serta tujuh kelompok 'setan' desa, yaitu tuan-tanah jahat, lintah darat, tengkulak jahat, tukang-ijon, kabir, penguasa jabat, dan bandit-bandit desa."

Pemuda Rakjat, sebagai contoh, telah mengambil langkah proaktif dalam menyambut perayaan ulang tahun mereka yang ke-XX. Mereka segera mengeluarkan pamflet pengumuman tentang latihan lubang buaya yang akan mencakup penculikan jenderal-jenderal yang akan mengikuti lomba paduan suara nasional selama tiga hari di Jakarta, yaitu pada tanggal 7-9 November.

Caranya, setiap pengurus daerah akan melakukan seleksi daerah untuk menentukan juara yang akan mewakili daerah mereka dalam lomba paduan suara nasional di Jakarta. Mereka akan menyanyikan satu lagu wajib dengan judul "Pujaan kepada Partai" dan sepuluh lagu pilihan. Sementara itu, lagu-lagu pilihan untuk tiap daerah akan ditentukan oleh masing-masing daerah.

Dengan rencana ini, PKI dan organisasi-organisasinya berharap dapat memperkuat solidaritas dan semangat revolusioner dalam mendukung kaum buruh dan tani serta melawan ketidakadilan yang mereka hadapi. Perayaan ulang tahun bersama ini diharapkan akan menjadi momentum penting untuk menggalang kekuatan dan energi massa rakyat dalam perjuangan mereka.

Selain itu, "Gerwani Meriahkan Kongresnya dengan Lomba Paduan Suara dan Kompetisi Sastra"

Lubang Buaya. Istilah ini sering kali dihubungkan dengan peristiwa tragis pada tanggal 1 Oktober 1965. Namun, di pekan terakhir September tahun itu, Lubang Buaya bukanlah tempat untuk menyanyi dan menari. Sebaliknya, Gerwani, Gerakan Wanita Indonesia, sedang sibuk mempersiapkan kongres ke-V mereka yang akan berlangsung pada Desember 1965.

Untuk menyambut kongres yang penting ini, Gerwani memutuskan untuk menggelar "Kompetisi Kebudayaan Kongres ke-V Gerwani". Kompetisi ini bertujuan untuk meriahkan acara kongres dan memperkaya budaya Gerwani. Ada dua jenis kompetisi yang dirancang untuk menyoroti bakat-bakat di dalam organisasi ini: kompetisi paduan suara dan kompetisi sastra.

Kompetisi paduan suara ini bukanlah hal yang sepele. Peserta dari daerah-daerah yang merupakan basis Gerwani diundang untuk berpartisipasi, dengan setiap grup paduan suara terdiri dari 25 hingga 50 orang. Biaya transportasi peserta dari daerah ke Jakarta, perjalanan pulang-pergi, sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah pengurus daerah Gerwani masing-masing. Ini adalah langkah penting untuk memastikan partisipasi yang merata dari seluruh daerah yang terlibat.

Selain itu, kompetisi ini memerlukan persiapan yang serius. Setiap daerah harus membentuk grup-grup paduan suara dengan pelatih yang berpengalaman dan pengetahuan musik yang memadai. Persaingan di tingkat daerah untuk meraih gelar juara paduan suara menjadi hal yang sangat dinantikan.

Tidak hanya paduan suara, kompetisi sastra juga menjadi bagian integral dari persiapan. Kompetisi ini mencakup dua jenis naskah, yaitu esai reportase tentang kegiatan Gerwani di tiap daerah dan cerita pendek. Para peserta diharapkan mampu mengungkapkan pemikiran mereka dalam batasan tiga halaman folio. Naskah-naskah ini kemudian harus dialamatkan ke Kantor Sekretariat Gerwani di Matraman Raya 51, Jakarta, tempat para juri akan menilainya dengan cermat.

Pentingnya kongres ini juga terlihat dari upaya penggalangan dana. Proposal untuk memalak instansi-instansi pemerintah demi mensukseskan Kongres Gerwani dibuka dan diumumkan secara rutin di koran. Tiap kontribusi dari berbagai daerah menjadi langkah yang diperlukan untuk mendukung keberhasilan kongres tersebut.

Per 27 September, baru Gerwani Cabang Salatiga dan Karanganyar yang berkontribusi, masing-masing memberikan sumbangan sebesar Rp10.000. Ini adalah bukti komitmen mereka dalam menjalankan persiapan kongres yang diharapkan akan menjadi wadah untuk merayakan budaya, seni, dan pencapaian Gerwani.

Jadi, meskipun Lubang Buaya telah menjadi simbol peristiwa tragis, di pekan-pekan terakhir September 1965, Gerwani menunjukkan komitmen mereka untuk merayakan budaya dan menggelar kongres yang penuh semangat.

Jualan Buku dan Kebudayaan Populer

Meskipun kita sering mendengar narasi tentang persiapan pembunuhan jenderal-jenderal Pancasilais, kenyataannya, banyak orang yang terkait dengan PKI masih sibuk dengan kegiatan lain menjelang peristiwa 1 Oktober.

Toko buku yang menjual buku-buku impor dari Uni Soviet, Tiongkok, dan Korea, serta berbagai toko buku lainnya, berupaya memperkaya budaya dengan menyediakan akses kepada buku-buku dari berbagai negara. Jika Anda menghabiskan waktu dengan budaya pop Korea saat ini, di tahun 1965, orang-orang Jakarta ditawarkan untuk membaca karya-karya dari Korea, terutama karya-karya Kim Il-sung dan Kim Bong-han.

Selain itu, buku-buku yang dilarang oleh pemerintah juga diumumkan secara rutin dalam koran PKI. Mereka juga mengumumkan daftar "buku penting" yang dianggap harus dibaca, termasuk buku-buku dari berbagai penerbit.

"Mengapa jualan buku saat semuanya sedang kacau?" Namun, cerita yang akan kita bahas ini penuh dengan nuansa yang tak terduga dan penuh makna.

Pada suatu waktu, di cabang Semarang, Yayasan Pembaruan, yang juga merupakan penerbit dan distributor buku milik PKI, memberikan kabar kepada para pemesan preorder dengan pesan bahwa buku "Pengantar Filsafat Marxis" yang mereka cetak bersama CV Trikarya Sala belum bisa diterbitkan karena kendala teknis yang melibatkan masalah dengan pasokan listrik.

Dengan kerendahan hati, mereka meminta para peminat dan pemesan untuk bersabar dengan semangat revolusioner. Mereka berjanji akan segera mengirimkan buku setelah selesai dicetak. Namun, seperti yang sering terjadi dalam kisah-kisah semacam ini, janji ini tak pernah terealisasi.

Namun, di tengah-tengah ketidakpastian tersebut, ada beberapa toko buku yang menonjol. Double T, sebuah toko buku di Kebon Sirih, Jakarta Pusat, dengan bangga mengumumkan bahwa mereka telah mengimpor buku-buku dari Uni Soviet. Koleksi mereka meliputi buku-buku teknik, kedokteran, sastra, dan politik.

Tidak hanya itu, CV Sumber Tjahaja juga ikut serta dengan mengumumkan bahwa mereka telah mengisi koleksi toko mereka dengan buku-buku dari Tiongkok dan Korea. Khususnya, karya-karya dari Kim Il-sung dan Kim Bong-han. Jadi, jika Anda menghabiskan waktu di bulan September ini untuk menggali budaya pop Korea seperti drakor dan musik, bayangkanlah di akhir September tahun 1965, orang-orang Jakarta ditawari kesempatan untuk membaca karya-karya utama dari penulis Korea, termasuk yang memiliki pandangan komunis.

Tidak hanya itu, toko buku CV Activa di Bandung juga menawarkan sesuatu yang istimewa. Mereka memasang iklan di Harian Rakjat, mengumumkan bahwa koleksi buku mereka tentang kota-kota di Indonesia yang terdiri dari 19 jilid, dapat terserap di sekolah. Harga setiap buku adalah Rp250 dan bisa diangsur.

Jadi, di tengah keramaian pekan terakhir September, ketika kita mungkin merasa terlalu sibuk dengan berbagai urusan, seperti yang digambarkan dalam film "Pengkhianatan G 30 S/PKI," masih ada mereka yang dengan semangat menjual buku, mengimpor buku-buku baru, dan mempromosikan koleksi-koleksi yang patut dicari.

Selain menginformasikan tentang buku-buku yang dilarang oleh pemerintah, koran PKI juga menampilkan daftar "buku penting" seminggu sebelum tanggal 1 Oktober. Daftar ini mencakup berbagai penerbit, termasuk Yayasan Pembaruan dan Gunung Agung. Tidak peduli siapa penerbitnya, yang penting adalah semangat untuk berbagi pengetahuan.

Misalnya, di antara buku-buku yang mereka tawarkan, terdapat beberapa yang menarik perhatian:

  •     "Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945" oleh Sidik Kertapati, diterbitkan oleh Yayasan Pembaruan, dijual dengan harga Rp1.000 (ongkir Rp200).
  •     "Marhaenisme dan Revolusi Indonesia" oleh K. Werdojo, diterbitkan oleh Yayasan Kebudayaan Sadar, dengan harga yang dapat Anda konfirmasi di toko buku terdekat plus ongkir pos sekitar 20%.
  •     "Berdiri Diatas Kaki Sendiri (Berdikari)" oleh Sukarno, diterbitkan oleh Yayasan Pembaruan, dijual dengan harga Rp450 (ongkir Rp100).
  •     "Berofensif Dibidang Pelaksanaan Plan 4 Tahun Partai: Pidato Sambutan pada Sidang Pleno ke-IV CC PKI bulan Mei 1965" oleh Sudisman, dijual dengan harga Rp175 (ongkir Rp50).
  •     "Asmara Hadi: Penyair Api Nasionalisme" oleh J.U. Nasution, diterbitkan oleh PT Gunung Agung, dijual dengan harga Rp1.250 (porto 10%).
  •     "Pergeseran Kekuasaan Eksekutif" oleh Ismail Suny, diterbitkan oleh PT Gunung Agung, dijual dengan harga Rp2.500 (porto 10%).
  •     "Revolusi di Nusa Damai" oleh K’tut Tantri, diterbitkan oleh PT Gunung Agung, dijual dengan harga Rp3.250 (porto 10%).

Meskipun dunia di sekitar mereka mungkin sedang dalam gejolak, para penjual buku ini terus berusaha memberikan pengetahuan kepada masyarakat. Ini adalah contoh yang menginspirasi tentang bagaimana dunia buku dapat terus berlanjut bahkan dalam situasi yang sulit, mengingatkan kita akan pentingnya pembelajaran dan pengetahuan dalam segala keadaan.

Semua ini mencerminkan keragaman aktivitas yang terjadi pada pekan terakhir September 1965. Jauh dari citra yang sering digambarkan dalam film "Pengkhianatan G 30 S/PKI," ini adalah sisi lain dari kehidupan mereka yang terkait dengan PKI dan kelompok progresif lainnya. Mereka tidak hanya terlibat dalam persiapan kekerasan, tetapi juga berkontribusi dalam bidang budaya, seni, dan pendidikan. Dalam konteks ini, perluasan wawasan dan pemahaman yang lebih mendalam tentang periode tersebut adalah sangat penting.

Posting Komentar untuk ""Riwayat Kontroversial: Aksi Terakhir Orang PKI Sebelum Peristiwa 1 Oktober 1965""