Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Melintasi Realitas: Cerita Pengabdian Kepada Masyarakat Menyingkap Dinamika Ekonomi, Sosial, dan Budaya Lokal.


pemandangan alam di sekitar ponpes Darussalam
persmarhalah.com 19/01/2024. Seringkali, ketika kita melihat rakyat dengan ekonomi kebawah, kita seharusnya tidak hanya melihat angka-angka statistik, tetapi melihat individu yang memiliki keberanian dan daya tahan luar biasa dalam menghadapi ketidakpastian kehidupan. 

Pada kesempatan Pengabdian kepada masyarakat kali ini reporter persmarhalah Mendapatkan Berita Dari kaka Nurhabibah dan kaka hilma Wardani yang berkesempatan untuk mewawancarai salah satu warga lokal dan asli desa simpar kampung kunir yaitu bapak Warta yang usianya sudah memasuki masa sepuh yaitu 65 tahun pak warta menceritakan berbagai pengalaman tentang hidup dan keadaan lingkungan di daerah tersebut. 

Baca juga: Meniti Jejak PKM: Perjalanan Inovatif Pondok Pesantren Darussalam Kunir

Keadaan Ekonomi

Pak warta menceritakan keadaan ekonomi disana
Dimulai pada keadaan ekonomi warga desa simpar, warga desa simpar mayoritas bekerja Sebagai Petani Buruh dan pedagang, bukan tanpa alasan mereka mencari nafkah sebagai petani buruh mereka menjadi petani buruh dikarenakan tidak memiliki sawah pribadi sehingga mereka akhirnya menggarap sawah milik orang lain. 

Untuk pangan yang digarap di sawah tersebut yaitu padi, pak warta menjelaskan dikarenakan tekstur tanah yang lembab yang menjadi alasan padi yang ditanam di sawah tersebut, pak warta bekerja selama seharian di sawah dengan upah 70 ribu rupiah per hari. 

Salah satu keluhan para petani yaitu pupuk yang tergolong langka dan mahal untuk dijangkau, lalu selanjutnya para petani juga sering menjumpai hama pada sawah yang mereka garap seperti tikus namun hal tersebut tidak terlalu dipikirkan oleh para petani yang sudah berpuluh - puluh tahun menjadikan sawah sebagai tempat mencari nafkah mereka. 

 Kondisi Sosial

Keadaan sosial warga desa simpar
Pak warta menceritakan kehidupan sosial sehari hari, makan dengan lauk seperti tahu, tempe dan ikan sudah menjadi kebiasaan para warga disana sedangkan untuk lauk seperti daging mereka merasa tidak menjangkau hal tersebut dikarenakan mahal.

Para warga disana hanya makan daging ketika diadakan hajatan atau pesta pernikahan saja, seperti pada umum kebiasaan di kampung ketika ada hajatan atau pesta pernikahan mereka saling membantu bergotong royong dan disana ada tradisi yang bernama "Gintingan" mereka makan seadanya menu yang diadakan oleh yang punya hajat jika hanya ada daging ayam maka makan daging ayam, untuk daging hewan lain seperti kerbau atau sapi warga disekitar sana tidak membeli atau menyediakan itu karena harganya yang relatif mahal untuk ekonomi warga disana.

Dari segi pendidikan paling tinggi yaitu Sekolah Menengah Atas (SMA) dan ada juga beberapa yang berkuliah seperti cucu pak warta yang berkuliah di Purwakarta . 

Desa tersebut selama berpuluh puluh tahun relatif aman tidak ada kerusuhan, pak warta juga menceritakan pengalaman pada saat ia membangun Pondok Pesantren Darussalam kunir pada saat itu mulanya ada 7 orang santri saja namun seiring berjalannya waktu akhirnya semakin bertambah.  

Tidak jarang ketika para santri, ibu jamilah (istri pak warta), dan pak warta ketika sedang memasak saat itu mengalami gangguan berupa hal - hal mistis dari makhluk halus dikarenakan lokasi pondok pesantren pada saat itu masih banyak pohon bambu.

Setelah berpuluh puluh tahun ibu jamilah dan bapak warta bekerja di pondok pesantren tersebut sebagai khodim atau semacam office akhirnya keluar dikarenakan kondisi fisik yang tidak seperti dulu lagi lalu digantikan oleh orang lain untuk bagian memasaknya yang awalnya dipegang oleh ibu jamilah.

Pak warta pun sempat menjadi ketua RT di lingkungan sana untuk beberapa saat namun berhenti karena faktor umur. 

Dan untuk akses ke desa simpar sedikit terisolasi dikarenakan minim nya kendaraan umum menuju desa ini dan jauh dari pusat kota. 

Tradisi atau Budaya
Gintingan gotong royong 
Seperti yang sudah disinggung diatas masyarakat disekitar sini memiliki budaya "Gintingan" apa itu gintingan? Dilansir dari budaya-indonesia.org 
Gintingan adalah Tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat Subang berupa mekanisme gotong royong yang dilakukan masyarakat Subang untuk menolong sesama dalam masyarakat itu
Gintingan berasal dari kata gantang. “Gantang itu semacam baskom tempat untuk mengukur satuan beras". 

Sehari-harinya mekanisme gintingan berlangsung ketika dalam masyarakat ada seseorang yang sedang mempunyai hajat/kebutuhan yang penting maka ada tolong-menolong untuk membantu seseorang dalam masyarakat tersebut. Agar hajatannya itu bisa berlangsung lancar.

Inisiatif masyarakat dalam melakukan gintingan muncul dari masa kolonial. Gintingan muncul dari inisiatif masyarakat untuk membantu tetangganya ketika mereka mempunyai kebutuhan yang mendesak. Misalnya ketika seseorang membutuhkan dana 30 juta untuk menyelenggarakan hajatan, maka seseorang itu akan memberitahukan tokoh masyarakat/informal. Setelah itu tokoh masyarakat akan memberitahu kepada masyarakat sekitar. Lalu akan diadakan rapat di rumah si penyelenggara yang membutuhkan dana itu.

Dibuatlah sebuah panitia yang terkait dengan hajatan itu. Kemudian akan disebar gantangan kepada masyarakat di daerah itu tergantung dari besarnya rumah. Nanti ada panitia yang mencatat sumbangan dari setiap orang yang menyumbang. Besaran kontribusi itu nantinya akan menjadi “hutang” bagi si penyelanggara hajatan. Menariknya, undangan untuk meminta gantangan itu dilampiri dengan sabun colek, Gintingan saat ini tidak hanya berupa beras, tapi bisa berupa uang dan emas. 

Reporter: kaka Nurhabibah dan kaka Hilma Wardani 
Editor Berita : Fathur Rohman 













Posting Komentar untuk "Melintasi Realitas: Cerita Pengabdian Kepada Masyarakat Menyingkap Dinamika Ekonomi, Sosial, dan Budaya Lokal."