Diskusi Bersama Narasumber di UIN Jakarta : Pramoedya Ananta Toer, Suara yang Tak Pernah Padam
![]() |
Diskusi Bersama Narasumber, Berto Tukan dan Indah Fadhilla |
Bekasi, Pers Marhalah 'Ulya
Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sukses menggelar diskusi dalam rangka "Peringatan Seabad Pram" bertajuk "Suara yang Tak Pernah Padam". (28/2/2005)
Acara ini diselenggarakan (26/2/2025) sebagai bagian dari peringatan seabad Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan besar yang dikenal karena karya-karyanya yang tajam dan penuh dengan kritik sosial.
Dalam kesempatan kali ini, hadir sebagai narasumber, penulis dan peneliti partikelir Berto Tukan serta Indah Fadhilla, M.Hum, salah satu dosen PBSI-FTIK UIN Jakarta, serta di moderatori oleh Nayla Authar, yang membawa jalannya diskusi dengan alur yang menarik dan interaktif.
Diskusi yang berlangsung di Ruang Teater FITK, Lantai 3, UIN Jakarta, menarik perhatian mahasiswa, akademisi, serta pencinta sastra yang ingin mendalami jejak pemikiran Pramoedya Ananta Toer.
Pramoedya Sebagai Sastrawan
Dalam diskusi, Berto Tukan sedikit menyoroti sosok Pramoedya sebagai Sastrawan. Pram sebagai Sastrawan dapat dikategorikan kepada dua fase. Pertama, Pram sebelum 65, Kedua, Pram pasca-65.
1. Pram Sebelum 65
Sebagai seorang sastrawan, Pram hidup pada beberapa era, mulai dari era Kolonialisme, Orde Lama, hingga Orde Baru. Salah satu fase Pram sebagai sastrawan adalah "Pram Sebelum-65".
Karya-Karya Pram sebelum-65 sering kali mengomentari kehidupan Indonesia kontemporer. Salah satu karyanya adalah "Si Midah" yang mengomentari kehidupan Jakarta dan Perempuan yang ingin sekali menjadi artis.
Jadi, di fase ini seolah-olah Pram menjadi "Komentator" sosial, yang selalu menyoroti situasi dan kondisi Indonesia sebelum tahun 65.
2. Pram Pasca 65
Pram pasca 65, tepatnya ketika dia berada di "Pulau Buru" malahan kembali fokus menulis terkait Sejarah, karena Pram juga seorang Sejarawan.
Sehingga banyak sekali karya-karyanya yang bernuansa "Novel Sejarah", seperti yang dikenal dengan Tetralogi Arokdedes
Menelusuri Jejak Pram: Dari Sastra ke Realitas Sosial
Kesempatan lain, Indah Fadhillah juga menyoroti jejak Pram di Indonesia. Salah satunya adalah, beliau mengutip ucapan bu Astuti Ananta Toer (Putri Pramoedya), "Pram merasa senang jika pembacanya menjadi berani".
Tetapi, Indah menggaris bawahi bahwa konteks "Berani" yang diucapkan Pram adalah "Berani dalam Sifat Individual". Secara garis besar, karya-karyanya Pram itu selalu menggaungkan liberte, egalite, fraternita.
Salah satu karyanya adalah "Anak Semua Bangsa" dimana Pram sangat mengedepankan keadilan dan kesetaraan.
Relevankah Karya-Karya Pram di Era Sekarang?
Menjelang akhir diskusi, Indah Fadhillah menyampaikan bahwa karya-karya Pram masih relevan hingga kini.
Kenapa? karena semua karya-karya Pram berbicara tentang "Manusia", sehingga siapapun yang membaca karya Pram akan selalu merasa bersinggungan dengan konteks Indonesia pada saat ini.
Sementara dilain kesempatan, Berto Tukan juga menyinggung sedikit tentang relevansi karya-karya Pram di Era post-Modernism seperti saat ini.
Menurutnya, hampir seluruh karya-karya Pram masuk dalam kategori "Novel Sejarah" dan sudah pasti sangat berguna untuk generasi sekarang mengetahui situasi dan kondisi Indonesia tempo dulu dari kacamata Pram sebagai sejarawan.
![]() |
Ditutup dengan Foto Bersama (Sumber: Ardhan, Mahasiswa PBSI) |
Posting Komentar untuk "Diskusi Bersama Narasumber di UIN Jakarta : Pramoedya Ananta Toer, Suara yang Tak Pernah Padam"