Menuju Dies Natalis ke-78 HMI: Insan Akademis atau Pragmatis?
Menuju Dies Natalis ke-78 HMI: Insan Akademis atau Pragmatis? |
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merupakan salah satu organisasi mahasiswa tertua dan berpengaruh di Indonesia. HMI didirikan pada 5 Februari 1947 di Yogyakarta oleh Lafran Pane dan kawan-kawan, HMI lahir di tengah situasi perjuangan bangsa Indonesia yang baru 2 tahun merdeka, dengan misi utama menjaga integritas keislaman dan keindonesiaan.
Sejak saat itu, HMI bukan hanya menjadi ruang pembinaan untuk para kader saja, tetapi juga melahirkan kader-kader yang memainkan peran penting dalam berbagai bidang kehidupan nasional.
Pada era awal kemerdekaan, HMI berperan sebagai penggerak kesadaran nasional di kalangan mahasiswa. Kader-kader HMI terlibat aktif alam mempertahankan kemerdekaan dan merespon dinamika politik nasional.
Salah satu tonggak penting adalah keterlibatan HMI dalam melawan arus ideologi komunis yang berkembang pesat di era demokrasi terpimpin.
Selain itu, kader HMI banyak berperan aktif di lingkungan kampus sebagai Agent of Change dalam menyebarkan gagasan demokrasi, kebebasan akademik, dan semangat kebangsaan.
Memasuki era Orde Baru yang mulai memasuki masa pembangunan. Namun, dibalik itu tumbuh "Semak Belukar".
Kontrol yang berlebihan melahirkan pemerintah yang otoriter, sehingga menjadi ancaman untuk organisasi keislaman seperti HMI ini.
HMI dipaksa untuk menerima azas tunggal pancasila melalui UU. No.8 Tahun 1985, yang menyebabkan HMI terpecah menjadi DIPO dan MPO.
Padahal, HMI mempunyai mimpi tentang Islam dan Indonesia yang modern, maju dan bersih. HMI berharap bahwa kelompok terdidik dan maju yang telah hidup berkecukupan ini memiliki integritas kemusliman yang tulen.
Faktanya mereka berhenti pada simbol dan atribut. Alumni jebolan tahun 80-an semakin banyak terserap dalam birokrasi melalui jaringan partai penguasa. Mereka merasa puas pada orientasi kekuasaan, tidak sampai pada perubahan.
"Mereka cukup bangga dengan mengatakan bahwa hampir 90% birokrasi di daerah ini telah 'kita' ambil alih".
"Islam Yes, Partai Islam No"...
Ini semua kata Cak Nur, bukan kata saya. Soalnya saya baru LK-1 jadi semua lisan, pasti di tolak.
Romantisme sedikit, agar Kader ingat Kembali, apa yang Cak Nur impikan? Apa yang Cak Nur harapkan? dan Apa yang Cak Nur cita-citakan? Paham sampai sini.
Melihat HMI dahulu memang menjadi wadah pembuka cakrawala pemikiran mahasiswa. Namun, jika menengok dinamika dan problematika hari ini, memang cukup ironi yang tidak bisa diabaikan.
Apakah HMI masih menjadi laboratorium kader, atau justru bergeser menjadi batu loncatan menuju pemerintahan?
Baca Juga :
LABORATORIUM ATAU BATU LONCATAN?
Besok, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) akan merayakan DIES NATALIS KE-78 sebuah usia yang sudah cukup tua.
Seperti kapal tua yang sudah berlayar berpuluh-puluh tahun, menghantam obak, menabrak terumbu karang, dan terombang ambing dengan arus laut yang bebas.
HMI dahulu mampu berdiskusi berjam-jam membicarakan tentang pengetahuan dan kemajuan bangsa, namun kini, ruang-ruang itu seakan menghilang, dan digantikan dengan proyek pilkada, pemilu, dan proyek-proyek lain yang bersifat materialistis.
Berbicara HMI tidak lepas dengan Mahasiswa yang bercirikan (berpikir).
Pasal 4 Tujuan HMI berbunyi begini:
"Terbinanya Insan Akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, serta bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil Makmur yang diridhoi Allah Subhanahu Wa ta'ala".
Namun rasanya, di era post-modernism ini tujuan di atas tak lagi dijalankan, hingga hampir dilupakan. Kalimat "Terbinanya Insan Akademis" sudah berubah menjadi "Terbinanya Insan Pragmatis", mengapa demikian? karena alih-alih menjadi Agent of Change, Sebagian kader malah terjatuh dalam lubang politik praktis. Berapa banyak kader yang telat kuliah? berapa banyak kader yang molor hingga 14 semester?.
Nabi Muhammad menjadi "Uswah Al-Hasanah" suri tauladan yang baik untuk diikuti oleh kita sebagai umatnya.
Sedangkan kader HMI menjadi "Uswah As-Sayyiah" suri tauladan yang buruk, karena para kader berorientasi kepada para kanda yang duduk di bangku pemerintahan, baik daerah, lokal, hingga internasional. Rela menggadaikan idealismenya, akademisnya demi serpihan-serpihan kertas untuk menghidupi dirinya.
Khususnya untuk kader yang ada di wilayah Urban. "Idealis No, Pragmatis Yes," kata saya. Para kanda yang seharusnya menjadi suri tauladan yang baik untuk para kadernya, justru sibuk berdansa di panggung pemerintahan, menjadikan HMI sebagai "syafaat" untuk melancarkan ambisi pribadi.
Loyalitas bukan lagi kepada nilai-nilai perjuangan,melainkan kepada siapa yang mempunyai akses ke jaringan pemerintahan.
Lebih menyedihkan lagi, Sebagian kader masuk ke dalam HMI bukan sebagai ruang adu pemikiran, melainkan sebagai batu loncatan untuk mendekat ke lingkaran kekuasaan.
Politik balas budi masih berjalan hingga kini, HMI tak lagi menjadi wadah bagi mahasiswa yang ingin berkembang dan menambah pengetahuan, melainkan menjadi wadah bagi mahasiswa yang tak mampu kuliah dan diperkerjakan atas dasar "Mengabdi pada HMI".... katanya.
Penulis : Alief Hafidz
Posting Komentar untuk "Menuju Dies Natalis ke-78 HMI: Insan Akademis atau Pragmatis?"