Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Merayakan 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer: "Antara Lisan dan Karya Yang Tak Kunjung Hilang"

 

Sastrawan
Pramoedya Ananta Toer

(9/2/2025) Pramoedya Ananta Toer atau akrab disapa dengan Pram adalah sastrawan legendaris Indonesia yang lahir pada tanggal 6 Februari 1925 di Blora

Pram merupakan anak dari Ayah Bernama Mastur Imam Bajuri seorang Nasionalis Kiri, dan Ibu Bernama Saidah sosok perempuan yang berasal dari keluarga Feodal.

Bulan ini menjadi momentum bersejarah di dunia sastra di seluruh dunia, khususnya Indonesia. Tahun ini menandai 100 tahun kelahiran sastrawan nasional Bernama Pramoedya Ananta Toer, tepatnya pada Tanggal 6 Februari 2025 kemarin di Blora, Jawa Tengah. 

Sosok sastrawan besar ini telah mencoret jejak penting di Indonesia. Ia dikenal sebagai penulis tajam dalam mengkritik kondisi Indonesia pada saat itu, jari-jemari penuh emosi menjadikan semua karyanya tetap abadi di ingatan kita hingga kini. Meskipun ada beberapa karyanya yang diancam punah oleh rezim-rezim zalim.

Jalan sunyi seorang maestro


Di antara tumpukan buku yang berdebu, dan lembaran sejarah yang coba di hilangkan, nama Pramoedya tetap bersinar di kalangan kami. 

Ia bukan sekedar penulis, tetapi ia adalah saksi, dan pengisah, sekaligus pewaris ingatan bangsa yang tak boleh dilupakan. Tulisan dan Suaranya mungkin di bungkam, tetapi karya-karyanya tetap abadi, dan merayap ke sanubari siapapun yang membacanya.

Pram tumbuh dalam getir kolonialisme yang merampas banyak hal dari bangsanya, Harga diri, dan hak bersuaranya. Namun, ia memiliki sesuatu yang tak dapat diambil, yaitu daya ingat dan keberaniannya dalam menulis. 

Seluruh kata-katanya menjadi saksi bisu bagi zaman, mengisahkan mereka yang tertindas, mereka yang melawan, dan mereka yang dipaksa untuk dibungkam.

Ia dipenjara di Bukit Duri, diasingkan ke pulau Buru, dicabut haknya sebagai warga negara. Bukunya dilarang, hidupnya dan keluarganya diawasi. Namun, terpenjara di ruang yang sunyi tidak menjadi alas an untuknya berhenti menulis. 

Ia membangun kesadaran bangsa lewat karya-karya nya yang membawa bom atom ke Indonesia.

"Orang boleh setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian," Dalam Bumi Manusia, karya Pramoedya
 

Warisan yang tak dapat dihapus

Karya Pramoedya
"Tetralogi Pulau Buru", karya Pramoedya

DI tahun 1965-1979, sosok pria diborgol, dan diasingkan ke Pulau Buru. Hasrat lama untuk Menyusun sejarah Indonesia berbentuk cerita pun Kembali ditekuninya. 

Dengan lemah dan tak berdaya Pram menorehkan ingatannya kepada para tahanan yang berada disana.

Jendela Ke Keabadian yang ia Tulis menjadi "Tetralogi Pulau Buru" terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca masih terus dibaca hingga kini. 

Value yang sangat tinggi menyebabkan Harga yang turun pun melonjak drastis, tetapi itu semua tidak menjadi hambatan untuk kaum "Pramis" yang ingin mengingat betapa pedihnya kehidupan pada tempo dulu.

Namun, ada beberapa tulisan yang dirampas oleh elite Belanda pada tanggal 23 Juli 1947. Tetapi, tulisan dan karyanya tetap bersinar terang hingga kini. 

Memang, Indonesia menganggap semua karyanya adalah ancaman bagi Negara, tetapi bagi negara asing, Maha Karyanya "Tetralogi Pulau Buru" di terbitkan dengan nama "The Buru Quartet" oleh Max Lane ke dalam Bahasa Inggris.

Lisan yang selalu pram rawat


Pram adalah anak dari seorang Nasionalis kiri dan juga seorang penulis di berbagai bidang sastra, seperti Puisi, Prosa, hingga Lirik Lagu. Meskipun begitu, pesan ayahandanya tak pernah ia lupakan "Konsistensi diri dan Libertarian". 

Lisan yang paling berharga untuk Pram meneruskan seluruh perjuangannya di atas mesin tik, sambil menghisap sebatang rokok dan meminum secangkir Kopi.

Pram adalah pengembala sekaligus pemberi makan hewan ternak, tetapi Langkah perjuangannya tak pernah pupus sebab di ludahi oleh lisan anak-anak feodal seumuran dengannya. 

Ibunda Pram pernah berpesan "Jangan jadi pegawai Negeri, jadilah majikan untuk dirimu sendiri. Jangan makan hasil keringat orang lain, makanlah dari hasil keringatmu sendiri"

Meskipun ibunya dari kalangan Feodal,tetapi perempuan itu tak pernah mengajarkan anaknya untuk makan dari hasil keringat orang lain. 

Kedua orang tua yang sangat kental akan idealisnya. Tak akan tergoda oleh serba-serbi dunia dari rezim-rezim zalim kala itu.

Penulis : Alief Hafiz

Posting Komentar untuk "Merayakan 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer: "Antara Lisan dan Karya Yang Tak Kunjung Hilang""