Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pramoedya Ananta Toer: "Jika Pram Menjadi Dosen, Apa Yang Terjadi?"

 

Sastrawan
Pramoedya Ananta Toer

Bekasi, Pers Marhalah 'Ulya

(9/2/2025) Bayangkanlah, di ruang kelas yang penuh kehampaan dan keterbatasan, di mana mahasiswa bukan hanya sekedar menunggu kapur putih tertulis di papan tulis, melainkan sebagai pendengar yang di desak untuk menjawab pertanyaan.

Di depan mereka, terpajang sesosok lelaki tua yang rambutnya sudah dimakan oleh umur tetapi mempunyai ilmu pengetahuan yang sangat luas. Dialah Pramoedya Ananta Toer seorang sastrawan hebat yang lahir di Blora, Jawa Tengah.

Awalnya, Pram menolak untuk dijadikan Dosen di Universitas Respublika atau yang kita kenal sekarang dengan Universitas Trisakti

Alasannya karena beliau tidak mempunyai kemampuan dasar untuk menjadi seorang dosen.

Tetapi dengan desakan yang terus-menerus datang kepadanya, Pram akhirnya menerima tawaran untuk menjadi dosen kala itu, tetapi ia meminta syarat "Saya tidak mau menggunakan cara-cara dosen sebagaimana mestinya".

Jika Pram menjadi dosen, ruang kelas bukanlah berisi papan tulis, meja, dan bangku mahasiswa saja. Ia akan menjadikan kelas sebagai arena pertempuran pemikiran, tempat mahasiswa yang dipaksa untuk berpikir, bukan hanya sekedar datang, duduk, dengerin.

Tetapi pada realitanya, kelas teramat sepi dan sunyi ketika ia mengajar. Akhirnya Pram mempunyai cara agar suasana kelas tidak menjadi ajang kematian paksa pemikiran. Pram mempunyai cara sendiri untuk ia jalankan dengan nyaman tanpa paksaan siapapun.

Pada tahun 1960-an Pramoedya menjadi dosen Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Trisakti. Karya monumental nya "Tetralogi Pulau Buru" merupakan embrio dari hasil praktik mengajarnya. 

Baca Tulisan yang serupa : Merayakan 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer: "Antara Lisan dan Karya Yang Tak Kunjung Hilang"

Lalu bagaimana cara Sastrawan Tajam itu mengajarkan Bahasa dan Sastra Indonesia di Perkuliahan?

Empat Cara Pram Jika Menjadi Dosen

1) Pram Membereskan Dunia Kesusastraan

Mata pelajaran Bahasa dan Sastra merupakan salah satu komponen penting di ranah Pendidikan. Sastra adalah seperangkat metode untuk membedah dan membongkar realitas. 

Sastra merupakan produk politik kreatif, sehingga sastra tidak boleh terpisah dengan politik. 

Oleh karena itu, menurut Pram "Tugas menulis adalah tugas nasionalis saya yang mempunyai tendensi ideologi, dan politik adalah cara memperjuangkan nilai-nilai kebenaran, kesetaraan, dan keadilan lewat cara bercerita, serta di kawal oleh tindakan dan perjuangan". 

Bingkai semacam ini dinamakan dengan "Politik Sastra".

2) Pram Mengajarkan Sejarah

Supaya dapat melihat sastra yang patriotis, maka harus pula di ajarkan sejarah, karena sastra dan sejarah mempunyai ikatan yang sangat erat. 

Pada tahun 1960-an lembaga sastra Indonesia yang di pimpin oleh Bakrie Siregar dan Pramoedya Ananta Toer mengadakan seminar pengajaran sastra untuk bekal para guru.

Pada pelaksanaan ini, ke dua tokoh tersebut berbagi tugas dalam menyusun kerangka seminar. Bakrie Siregar membahas "Sejarah Sastra" sedangkan Pramoedya membahas "Sejarah Indonesia".

Keduanya dijadikan satu untuk para pengajar yang kemudian disebut sebagai "Guru Manipolis".

3) Pramoedya Tidak Melulu Mengajar di Kelas

Bagi Pram belajar di dalam kelas terus-menerus adalah tindakan yang aneh dan pasti membuat jenuh.

Pram pasti akan mengajak semua mahasiswa untuk eksplorasi ke perpustakaan-perpustakaan yang ada, agar mendapatkan informasi yang valid dan terbaru.

Menurut Muhiddin M. Dahlan di Channel Youtube mojokdotco belajar sastra yang baik dan benar adalah "Mengkliping". 

Maksudnya, jika kita menulis sebuah karya dengan latar belakang pada tahun 70-an misalnya, maka pahami betul segala aspek yang ada pada tahun tersebut. Ini namanya "mengkliping yang bertendensi".

Menekuni sastra adalah kerja-kerja meriset, sehingga sangat disayangkan sekali jika para pelajar hanya diberi makan ilmu bahasa saja, tetapi sastranya diabaikan.

4) Kuasailah Tata Bahasa

Sebab menulis adalah keterampilan berbahasa, maka kuasai betul bahasa yang digunakan untuk bercerita.

Seorang pengamat sastra asal Belanda bernama A. Teeuw menegur Pram karena ia mempelajari banyak bahasa.

 

Atas: A. Teeuw, Bawah: Pramoedya
 

Teeuw berkata "Sastrawan itu cukup menguasai satu bahasa dan menulis dengan bahasa yang dikuasainya". 

Ketika di Lembaga Kebudajaan Rakjat (LEKRA) Pram mempelajari kembali geneologi terbentuknya bahasa Indonesia, penggunaannya, hingga operasi politik bahasa kolonial. 

Menurut Pram bahasa Indonesia tidak praktis, oleh karenanya dia mempunyai cara sendiri untuk menyingkatnya.

Seperti, Kereta Api menjadi keretapi, Matahari menjadi matari yang masyhur dalam kitab "Tetralogi Pulau Buru".

Karena mengitari sejarah bahasa, makanya rasa bahasa yang di dalam "Tetralogi Arokdedes" dengan "Tetralogi Pulau Buru" sangat jauh berbeda rasa bahasanya. 

Ketika Pram mengarang dua karya tulis tersebut, dia berada pada era yang berbeda, sehingga memiliki rasa bahasa yang berbeda juga.

Supaya mendapatkan nuansa bahasa tertentu, pram membutuhkan riset terhadap karya yang ada pada masanya. 

Contoh saja misalkan, tulisan-tulisan Tirto Adhi Soerjo yang lampau ia kumpulkan lalu dijadikan satu, sehingga menemukan nuansa bahasa di era tersebut.

Penulis : Alief Hafiz

Posting Komentar untuk "Pramoedya Ananta Toer: "Jika Pram Menjadi Dosen, Apa Yang Terjadi?""